Ekofeminisme dan Perubahan Iklim
![]() |
Penulis : Hikmah Bima Odityo |
Berkaitan dengan artikel penulis minggu lalu tentang peran perempuan
dalam mengatasi dampak dari perubahan iklim. (baca: Peran Perempuan dalam Perubahan Iklim). Muncul pertanyaan dari beberapa pembaca yang masuk, bahwa
feminisme merupakan produk budaya yang dianggap “kebarat-baratan”. Memang
menjadi pertimbangan sendiri bagi penulis untuk menentang arus konservatisme
agama dan budaya patriarkal di Indonesia secara akademis.
Baiklah sebelum menjawab pertanyaan diatas, marilah secara
historis kita melihat bahwa pergerakan perempuan di Indonesia telah lahir jauh
bahkan sebelum era kemerdekaan. R.A. Kartini melalui tulisan-tulisannya yang
dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” sudah membicarakan tentang kemajuan
pikir dan emansipasi perempuan dalam memajukan bangsa.
Kemudian, Dewi Sartika pada tahun 1904 telah mendirikan
Sekolah Kautamaan Istri yang tidak hanya memberikan keterampilan merenda,
memasak dan menjahit, namun juga memberi pengetahuan kepada saudari-saudarinya
tentang membaca dan menulis.
Pada Kongres Perempuan Indonesia pertama juga memutuskan: pendirian lembaga kesehatan dan kursus pemberantasan buta huruf, serta pendirian badan pemufakatan dan musyawarah bagi Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) kepada pemerintah kolonial Belanda pada saat itu.
Pada Kongres Perempuan Indonesia pertama juga memutuskan: pendirian lembaga kesehatan dan kursus pemberantasan buta huruf, serta pendirian badan pemufakatan dan musyawarah bagi Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) kepada pemerintah kolonial Belanda pada saat itu.
Dalam pandangan barat, ekofeminisme pertama diperkenalkan
oleh feminis Prancis bernama Francoise d'Eaubonne pada tahun 1974 melalui
bukunya berjudul “Le Feminisme ou La Mort”.
Buku tersebut menggugah kesadaran manusia, khususnya pada kaum perempuan
untuk melakukan sebuah revolusi ekologis dalam menyelamatkan lingkungan hidup.
Ekofeminisme menawarkan cara pandang yang holistik,
pluralistis dan inklusif terlebih dalam membangun relasi setara antara
laki-laki dan perempuan dalam mencegah kekerasan, menentang perang, dan menjaga
alam-lingkungan di mana mereka hidup.
Gerakan ini juga mengajarkan bahwa model
pendekatan sifat-sifat feminin seperti rela berkorban, kasih sayang dan lemah
lembut dapat dikedepankan untuk mengubah dunia dibandingkan dengan model
pendekatan maskulin. Ekofeminisme menilai bahwa dengan masuknya perempuan ke
sektor publik justru terpengaruh menjadi berjiwa maskulin juga. Sehingga
jangankan merubah struktur patriarkat, seorang feminis malah menjadi
pendukungnya.
Ekofeminisme mengajarkan meskipun perempuan boleh masuk ke
dunia publik, tetapi harus tetap menjaga kualitas femininnya, serta tetap
bangga bila ia memilih berperan di sektor domestik (seperti: ibu/ istri,
merawat anak dan sebagainya).
Ekofeminisme pada tataran ekologi berarti sebuah teori dan
gerakan etika lingkungan yang ingin mendobrak etika pada umumnya, yakni
bersifat antroposentrisme. Manusia adalah satu-satunya pertimbangan moral dan
etis. Lebih jauh lagi, ekofeminisme mengkritik androsentrisme, yaitu teori
etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki.
Husnul Khatimah mengutip pernyataan Karren J. Warren berpendapat
bahwa logika konseptual androsentrisme yang menindas memiliki tiga ciri utama:
Pertama, berpikir tentang nilai secara hierarkis. Kedua, dualisme nilai yang
melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki dihadapkan dengan
perempuan, manusia dihadapkan dengan alam). Ketiga, logika dominasi yaitu
struktur dan cara berfikir yang cenderung membenarkan dominasi dan subordinasi.
Lebih jauh, ekofeminisme juga mengkritik ekosentrisme,
khususnya deep ecology, karena
kritiknya dianggap masih saja berpusat pada antroposentrisme sebagai sebab dari
krisis ekologi. Padahal, lebih dalam dari itu adalah dominasi laki-laki atas
alam sebagai sebab dari krisis ekologi.
Bagi ekofeminisme, krisis ekologi tidak sekadar disebabkan
oleh cara pandang dan perilaku yang antroposentris. Krisis ekologi sesungguhnya
disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang androsentris: cara pandang dan
perilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam.
Berkaitan dengan perubahan iklim, perempuan menjadi subjek yang cukup rentan terhadap terjadinya suatu bencana.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh London School of Economics (LSE)
atas bencana yang terjadi di 141 negara, perbedaan jumlah korban akibat bencana
alam berkaitan erat dengan hak ekonomi dan sosial perempuan.
Ketika hak perempuan tidak mendapatkan perlindungan, maka
jumlah korban perempuan akan lebih besar daripada laki-laki. Sebaliknya, pada
kelompok masyarakat yang menjunjung persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan, jumlah korbannya adalah sama.
Penelitian di Uganda dan Kenya, Afrika,
tahun 1972 menemukan bukti bahwa emisi asap dapur menyebabkan infeksi
paru-paru. Selain itu, perempuan juga menderita sakit kepala dan kelelahan mental akibat mencari dan menanggul air
bersih yang harus dibawa dalam perjalanan sepanjang 300 meter hingga 4 km atau
sekitar 40 menit hingga 1 jam setiap harinya.
Di India, sebanyak 130.000 hingga
150.000 perempuan menderita sesak napas yang menyebabkan kematian dini akibat
asap dapur. Asap dari tungku tradisional dapat menghasilkan partikel
gas berbahaya yang dapat mengganggu saluran pernafasan, menghambat perkembangan
janin, hingga kerusakan paru-paru dan bronkhitis.
Hasil studi tahun 1990 di Wisconsin, USA,
pencemaran lingkungan menyebabkan peningkatan penderita endometriosis hingga
5,5 juta orang dan penderita kanker payudara sebesar 22%. Tampak jelas bahwa
kaum perempuan sangat dirugikan dengan adanya kerusakan lingkungan.
Kelangkaan air akibat perubahan iklim juga mempengaruhi kehidupan
perempuan. Air banyak dibutuhkan perempuan untuk melakukan pekerjaan rumah
tangga seperti memasak, mencuci dan memandikan anak. Selain itu, air sangat
penting untuk kesehatan reproduksi saat menghadapi menstruasi dan kelahiran.
Menanggapi hal tersebut, pemahaman ekofenimisme sangat
diperlukan untuk menjamin keselamatan perempuan dan keadilan gender. Belajar
dari Zimbabwe yang setengah dari 800.000 keluarga di desa dipimpin oleh
perempuan. Kelompok perempuan memegang tanggung jawab sumber daya hutan dan
program-program pembangunan melalui kepemilikan lahan, penanaman pohon, dan
persemaian.
Di Nepal, terdapat lebih dari 800 kelompok perempuan
pengguna hutan yang memegang peran dalam menjaga hutan, melakukan persemaian
serta menanami lahan yang rusak. Hal ini membawa dampak positif, di mana
kejadian longsor semakin berkurang, ketersediaan bahan bakar dan makanan
ternak, angka pohon hidup mencapai 60-80%, larangan penebangan pohon dan lain
sebagainya. Sementara di Kamboja, kelompok-kelompok perempuan membentuk jejaring
dengan didukung oleh lembaga non-pemerintah.
Dampak yang dihasilkan, perempuan dapat melakukan negosiasi
harga, mengatur ketersediaan transportasi ke pasar, mendirikan koperasi
penggilingan padi untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan, serta mempengaruhi
pengambilan keputusan dalam seluruh tingkat tata pemerintahan.
Berdasarkan data yang diberikan oleh USAID, kelompok
perempuan Indonesia dapat berperan aktif dalam pengelolaan hutan berbasis
masyarakat dan dilibatkan dalam peningkapatan kapasitas serta pembagian manfaat
dalam REDD+. Implementasi REDD+ di Indonesia menganut prinsip sebagai berikut: 1)
Efektifitas. 2) Efisiensi. 3) Keadilan dan Kesetaraan Gender. 4) Transparan. 5)
Akuntablitilitas.
Dalam hal keadilan dan kesetaraan gender, pengalaman dan
pengetahuan perempuan dapat menjadi acuan dan pertimbangan dalam setiap
pembuatan kebijakan maupun program. Pengelolaan hutan dilakukan dengan cara
berbeda bagi laki-laki dan perempuan dalam pemanfaatan sumberdaya alam sesuai
dengan metode dan prioritas masing-masing.
Melihat data lapangan kondisi tersebut masih jauh dari kata
ideal. Berdasarkan data dari CIFOR, melalui analisis ekstensif terhadap 388
dokumen terkait REDD+ Indonesia yang dihasilkan oleh lembaga lintas-pemerintah,
lembaga nasional/subnasional, LSM dan bisnis internasional, hanya dapat
ditemukan 83 dokumen menyinggung kata “gender”.
Dari jumlah itu, sangat sedikit yang berisi prinsip
pengarusutamaan gender pada level yang bisa dipandang terintegrasi dan substantif.
Bahkan dari 83 dokumen tersebut, hanya sedikit pengakuan peran perempuan
sebagai pemangku kepentingan, pengguna hutan dan anggota penting masyarakat. Tidak
dilibatkannya perempuan dalam forum pengambilan keputusan REDD+, hanya akan
mengurangi efektivitas REDD+ sebagai cara mengurangi deforestasi dan degradasi hutan.
Menimbang hal tersebut, perempuan Indonesia dapat melakukan
pergerakan ekofeminisme untuk menjamin keselamatan mereka sendiri dari dampak
perubahan iklim. Belajar dari Vandana Shiva, seorang ahli ilmu fisika dan pertanian
organik India, yang menginisiasi gerakan perempuan (Gerakan Chipko) untuk
memeluk pohon demi menyelamatkan hutan dari ancaman eksploitasi industri,
berhasil menghentikan penebangan pohon seluas 12.000 km areal hutan di tahun
1974.
Contoh lain pada suku Penan di pedalaman hutan
Sarawak, Malaysia, yang melakukan unjuk rasa demi menghentikan operasi penggergajian
kayu selama beberapa bulan. Dan perempuan di kota Kitakyushu pada tahun 1950an,
yang juga berhasil menuntut pemerintah untuk merubah kota Kitakyushu sebagai
kota industri menjadi kota bernuansa “Green City”.
Islam (agama yang dianut sebagian besar penduduk Indonesia) dalam praktiknya tidak hanya
mengurusi masalah ibadah rutin saja seperti: shalat, puasa, haji dan lainnya.
Namun, urusan kebangsaan, muamalah, termasuk menjaga kelestarian lingkungan
menjadi tugas utama dalam ber-Islam. Lebih dari itu Islam adalah agama yang
bisa memberikan peluang kepada perempuan untuk menjadi dirinya sendiri, dan hal
itu yang seringkali dilupakan dalam masyarakat kita.
Di dalam Islam, dikenal istilah “Rahmatan lil alamin”. Islam
diyakini dan dipercayai sebagai agama yang diperuntukkan tidak hanya bagi
pemeluknya sendiri, namun juga merupakan rahmat bagi pemeluk agama lain, bangsa
non-Arab, hingga kepada tumbuhan dan hewan.
Konsepsi ini akan benar-benar dapat diterapkan jika
pemeluknya memahami substansi pengamalan ajaran Islam itu sendiri. Apabila kita
berbicara mengenai alam dan perempuan, maka sekaligus kita berbicara tentang
peranan perempuan yang seringkali kita lupakan di dalam ber-Islam. Pelecehan terhadap
perempuan atau pelecehan gender akan mengakibatkan kegagalan dalam suatu masyarakat.
Ekofeminisme dalam pandangan Islam bukan merupakan solusi akhir bagi
perempuan muslim, namun merupakan salah satu jalan dalam mengharap ridho dan rahmat-Nya. Hal ini perlu dilakukan
untuk menjamin pendekatan yang merefleksikan realitas lokal dan memberdayakan perempuan
maupun laki-laki dari masyarakat lokal untuk memainkan peran aktif dalam
mengembangkan, mengimplementasikan, memantau dan mengambil pelajaran dari aksi
inklusif gender.
Pemerintah juga harus melakukan
evaluasi dalam pengarus-utamaan gender khususnya yang berkaitan dengan REDD+.
Perlu dibangunnya keseimbangan antara prioritas kesetaraan gender pada tingkat
nasional, selagi mengadopsi fleksibilitas dan kekhususan konteks dalam implementasi
di tingkat subnasional.
No comments: