Hujan Jangan Marah dan Kita yang Tak Berdaya Melawannya
![]() |
Penulis : Rizal A |
“Dengarkah?
Jantungku menyerah, Terbelah di tanah yang merah, Gelisah dan hanya suka
bertanya pada musim kering. Melemah dan melemah ... Hujan, hujan jangan marah”
Sepenggal lirik dari Grup Band Efek Rumah Kaca (ERK)
yang berjudul Hujan jangan marah diatas menggambarkan penantian seseorang akan
datangnya hujan setelah kemarau panjang Seorang itu mengharap pada
kemurahan hujan agar mengguyur haus tanah yang berbahasa melalui belahan tanah
di sawahnya yang merah, meminta hujan untuk tidak marah dan menghukum sang petani. Dengan lagu ini,ERK ingin menyampaikan suara sumbang dari mereka yang
paling tak berdaya menghadapi perubahan iklim yang semakin nyata.
Petani pada
Cuaca yang Tak Menentu
Hari-hari ini ironi seperti yang disuarakan oleh ERK
dalam lagu Hujan Jangan Marah itu
semakin nyata. Kejadian ini sedang dialami oleh para petani di daerah Aceh. Sekitar
150 hektare tanaman padi milik warga di
Tiga Desa, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, terancam gagal penen akibat
dilanda kekeringan. Bahkan tanaman padi yang telah ditanam sejak Desember 2017
lalu, tidak mau tumbuh lagi akibat minimnya air meski telah dibantu dengan
mesin pompa. Di wilayah lain, rendahnya curah hujan akan mengakibatkan potensi
terjadinya bencana kebakaran hutan. Dari data Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika (BMKG), mulai akhir Februari sampai Maret 9 wilayah yang akan
berpotensi mengalami kejadian itu, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan
Kalimantan Timur.
Kerugian yang dialami akibat bencana kekeringan di
Aceh,dialami pula oleh para petani di wilayah kabupaten Pacitan, Wonogiri dan
Gunung Kidul, walaupun dengan kondisi yang agak berbeda. Di wilayah-wilayah
selatan pulau jawa itu banyak mengalami gagal panen akibat fenomena tanah
amblas yang justru disebabkan oleh tingginya intensitas hujan semenjak Januari
lalu di Pulau Jawa. Para petani harus menanggung kerugian, jangankan memetik
hasil, lahan pun sudah tidak bisa digarap lagi.
Akhir-akhir ini memang kita berada pada cuaca yang
tak menentu. Sementara di wilayah Jawa Februari hingga Maret diprediksikan
merupakan puncak-puncaknya musim hujan, di daerah lain curah hujan justru
begitu rendah. Anomali cuaca seperti sekarang ini tentu paling berdampak kepada
mereka yang mengandalkan hidupnya pada musim dan cuaca, seperti petani dan
nelayan.
Menaiknya
Suhu dan Berubahnya Iklim Global
Secara umum kondisi demikian tidak hanya
dialami oleh wilayah yang ada di Indonesia saja. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC), kenaikan panas yang dialami secara global semenjak tahun 1901
mencapai 0,89◦C, sedangkan di kawasan Asia Tenggara sendiri tercatat temperatur
naik pada kisaran 0,4 – 1◦C. Bahkan menurut prediksi dalam laporan tersebut di
wilayah Asia tenggara kenaikan temperatur akan mencapai 1,5-2◦C pada tahun
2046-2065 mendatang.
Akibat naiknya temperatur curah hujan diperkirakan
akan meningkat di negara-negara seperti Indonesia dan Papua Nugini, sedangkan
di negara-negara lain seperti Thailand, Laos, Myanmar, Kamboja dan Vietnam,
curah hujan diperkirakan akan menurun sebesar 10 % - 20 % di bulan Maret sampai
Mei. Walaupun secara keseluruhan data memperlihatkan bahwa curah hujan akan
naik, namun terdapat pengecualian di wilayah barat daya Indonesia.
Kenaikan suhu secara global tak hanya mengakibatkan
membesarnya kemungkinan gagal panen bagi petani, namun juga pada mereka yang
menggantungkan perekonomiannya pada kondisi laut. Pemanasan global
mengakibatkan kenaikan air laut dikarenakan mencairnya es di Kutub. Dari laporan
Jurnal Nature yang dipublikasikan pada tahun 2015 menemukan bahwa antara tahun 1901 - 1990 rata-rata permukaan air laut global naik sebanyak 1,2 milimeter per
tahun, sedangkan dari 1990 ke 2010 angkanya melejit hingga 3 milimeter. Lebih
menarik lagi jika melihat laporan Bank Dunia dengan judul Turn Down the Heat
– Climate Extremes,
Regional Impacts and the Case
for Resilience menunjukkan bahwa
kawasan pesisir pantai di Asia Tenggara akan mengalami kenaikan 10-15 % lebih
tinggi dibandingkan dengan rata-rata kenaikan muka air laut global. Bahkan
diperkirakan tahun 2050 kenaikan permukaan air laut akan mencapai 50 cm dan pada tahun 2090
mencapai 100 cm.
Kenaikan air laut memperbesar bencana-bencana yang berimbas juga pada tangkapan ikan bagi nelayan. Perubahan ilkim
juga akan berimbas pada pariwisata di kawasan pantai. Diprediksikan kawasan Asia
akan mulai kehilangan keaneka-ragaman hayati berupa terumbu karang hingga 88%
akibat dari pemutihan yang akan dimulai tahun 2030. Sebuah data yang
menyedihkan bagi petani dan nelayan.
Eksploitasi
alam dalam Industrialisasi
Ada yang menarik dari perubahan iklim yang begitu mengancam ini, yaitu bahwa kenaikan suhu global ini bersifat
antropogenik, artinya tidak terjadi secara alamiah tetapi sebagai hasil dari
kegiatan manusia. Penyebab utamanya adalah emisi gas rumah kaca, terutama
karbon dioksida. Kurang lebih 60% dari seluruh peningkatan emisi karbon
dioksida disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak, dan
gas bumi); sedangkan hampir 20% diakibatkan oleh pengelolaan tanah terutama
maraknya pembabatan hutan.
Jika melihat kenyataan itu, maka negara-negara industri maju secara sejarah bertanggungjawab atas hampir 80% peningkatan
karbon dioksida di Bumi. Selain itu juga negara-negara berkembang yang secara
ekonomi mulai menunjukkan kemajuan yang pesat akibat mengekor cara-cara
industrialisasi yang dilakukan terlebih dahulu di negara maju, seperti Tiongkok
yang menunjukkan tingkat emisi absolut.
Perubahan iklim yang kita alami sekarang ini
merupakan dampak dari model kegiatan ekonomi dan peradaban yang menggunakan
energi secara intensif serta dalih peningkatan perekonomian yang
mengiringinya, yang harus kita akui hanya bisa dinikmati segelintir saja
penduduk bumi. Laporan dari Postdam Institute for Climate Impact Researce (PIK)
menunjukkan korelasi yang sangat tinggi antara jumlah kepemilikan modal suatu
dengan tingkat jumlah emisi karbondioksidanya. Dengan demikian kita bisa
sedikit mengerti gambaran dosa emisi karbon dari negara-negara industri yang
kaya kepada manusia, daerah, dan negara miskin yang paling rentan menerima
dampak dari perubahan iklim global yang semakin nyata.
Kondisi ini diperparah dengan percepatan penyebaran
model kegiatan ekonomi dan peradaban negara-negara industri ini keseluruh
pelosok bumi melalui globalisasi. Konsekuensinya semakin banyak saja
negara-negara berkembang yang meniru jalur pembangunan seperti itu dan berhasil
walaupun, tentu saja, disertai konsumsi energi yang tinggi dan peningkatan
kembali emisi karbondioksida di bumi yang semakin cepat. Mereka yang kalah dan
tidak mengikuti jalur pertumbuhan ekonomi yang demikian, sampai saat ini
termarjinalkan dari proses pertumbuhan kemakmuran.
Saat ini negara-negara di dunia mulai menyadari
bahwa dunia ini mempunyai batas, pertumbuhan ekonomi ada batasnya, demikian
pula dengan akumulasi modal. Apa akibat jika batas ini dilanggar? punahlah bumi
sebagai satu-satunya tempat tinggal manusia. Isu pemanasan global ini penting
untuk menunjukkan bahwa untuk tetap bisa hidup di bumi secara lestari, maka
pola produksi, distribusi dan konsumsi seperti sekarang ini harus dipotong
sekitar 80% menjadi 20% saja. Apabila kita tetap mau mempertahankan pola
produksi, distribusi dan konsumsi seperti sekarang, maka manusia memerlukan lima planet seperti bumi, jika itu
mungkin.
Apakah
hujan semata-mata marah?
Kembali pada anomali cuaca di Indonesia. Kemarahan
hujan yang diakibatkan oleh tinggi dan rendahnya curah hujan di berbagai
wilayah di Indoesia, tanpa mengkerdilkan dampaknya, ternyata hanya sebagian
saja akibat dari perubahan iklim yang sedang dialami bumi secara keseluruhan.
Waktu-waktu kedepan, jika tidak ada kemauan bersama untuk mengubah pola
produksi, distribusi dan konsumsi dari tatanan dunia sekarang, tidak hanya
hujan yang akan marah, namun sangat
mungkin juga lautan, bumi dan udara, singkatnya alam yang murka pada
manusia.
Dari data-data di atas kita mengetahui bahwa alam
yang diciptakan dengan hukum-hukum yang pasti ada batasnya, sedangkan
keserakahan manusia tiada batasnya. Kenyataan bahwa perubahan iklim di dunia
saat ini semakin nyata tentu semakin meyakinkan kita bahwa saat ini penduduk
bumi mengalami penderitaan bukan semata-mata dari bencana yang alamiah, namun
akibat perbuatan manusia sendiri terhadap buminya. Dan selama penderitaan itu
datang dari manusia, ia bukan bencana alam, ia pun pasti bisa dirubah oleh
manusia.
Hal itu bisa ditempuh selain dengan kehendak
bersama dari pemerintahan negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengurangi emisi
karbondioksida, kesadaran etis untuk memperhatikan alam dalam berkehidupan
juga harus ditanamkan dalam masyarakat sipil. Hal itu menjadi tugas tidak hanya
pendidik formal, tetapi terutama pemuka agama yang lebih mempunyai pengaruh
secara etis dalam masyarakat, di samping itu orientasi pembangunan juga harus
terus melibatkan kelompok miskin selama ini paling rentan terdampak oleh
perubahan iklim. Dengan begitu, kita bisa menghindari kemarahan hujan.
No comments: