Petrichor: Sebut Saja, Mawar.
Pikiran yang tidak karuan itu masih datang dan
pergi. Mungkin terlalu banyak memikirkan tentang perasaan memang membawa suatu
malapetaka. Kuliah tidak karuan, masih saja mencoba memikirkan hal itu dan
berandai-andai tentang perempuan yang membuatnya begadang semalam suntuk.
Kejadian di apartemen saat akhir pekan kemarin memang tidak
disangka-sangka olehnya.
Mari kita menulis saat masih pagi-pagi buta, karena
hanya pada saat seperti itu pikirannya bisa sedikit tenang, dengan bantuan
kafein yang overload dan beberapa batang kretek. Terbangun di dalam
kamar dari sebuah bangunan yang dijadikannya pelarian setiap perasaannya dibolak-balik,
di sudut kamar ada jaring laba-laba, terlihat laba-laba itu asyik mengikat
mesra mangsanya dengan penuh sumringah. Pandangan pertama yang cukup romantis
pagi ini. Tersadar dengan sedikit rasa sakit, ternyata gunting yang tadi malam
digunakannya untuk menggunting sebuah artikel di koran masih tergeletak manis
di tempat tidur. Sedikit bercak merah di tempat tidur. Sedikit panik rasanya.
Ternyata tumpahan minuman dengan karbonasi, sisa tadi malam. Tidak ada jam
dinding di sana, hanya ada sebuah jam tangan pemberian seseorang yang masih
dikaguminya sampai saat ini. Digamit dengan cepat dan dilihatnya jam tangan
itu, jarum pendek menunjuk ke arah angka delapan. Masih terlalu pagi rupanya.
Dipejamkan kembali mata itu. Mata yang saat ini terlalu banyak melihat dosa.
Telepon genggam yang bergetar daritadi, dilihatnya
sekilas. Barang yang menjadi candu bagi kebanyakan manusia sekarang. Narkoba
dalam bentuk baru sepertinya. Pesan singkat, tidak sesingkat maknanya, dan
tidak sesingkat namanya. isinya jauh lebih panjang. Makin tidak karuan
saja otaknya pagi itu. Memang, sinar matahari yang terbiaskan pagi itu sudah
menyelinap masuk daritadi, tetap saja pikirannya gesrek. Ya, gesrek.
Akhir-akhir ini banyak orang yang berucap dengan sindiran yang sedikit gesrek
kepadanya. Bertanyakan tentang arti dari sebuah hal yang rancu. Makna dari
sebuah hal yang dianggap sakral, bahkan oleh Shakespeare itu sendiri yang
mengabadikannya di dalam sebuah karya roman abadi. Seperti sebuah hal yang
bodoh terlihatnya, kau meminum racun untuk meninggalkan hidup yang bagimu tidak
menjadi hidup ketika orang yang menjadi penjelasan bagi setiap pertanyaanmu itu
mati. Ya, mati. Tubuh nya dingin, walau tidak membeku. Raut wajahnya hampa.
Sebotol air mineral diteguknya, sedikit lega tenggorokan
yang sudah kering dari semalam. Deskripsi atas hal yang terjadi belakangan ini
tidak mampu menjelaskan secara mendalam. Rumit menjadi kambing hitam dan
pelarian atas kejadian yang membuatnya ingin memuntahkan kata-kata sarkas
kepada setiap orang yang terlalu mencampuri hal yang membuatnya senyum itu.
Setidaknya, setelah sekian waktu tidak dirasanya lagi keindahan dan anugerah
dari seorang mahluk Tuhan itu. Dan cerita terus mengalir setiap harinya, dengan
plot yang berbeda, dengan konflik yang berbeda, seakan semuanya tidak pernah
menjadi klimaks dan selalu mengubah arti dari setiap cerita yang ada.
Potongan rambut yang tidak karuan. Ditatapnya
cermin dan dilihatnya ekspresi dari seorang manusia dan masih punya daging, dan
semoga masih punya otak. Ya memang otaknya masih bermusuhan dengan perasaannya.
Ketika perdebatan tentang hal yang muncul dari sebuah perasaan yang bagi
sebagian orang tabu untuk dibicarakan, apalagi dilogikakan. Perdebatan itu
mengenai apakah logika atau perasaan yang lebih dulu hadir. Diam menjadi emas
saat itu. Jika dikatakan bahwa diam itu lebih baik, hal itu benar-benar
dirasakannya. Deskripsi soal ini pun masih menjadi keputusasaan. Setidaknya,
mahluk Tuhan dengan lekuk tubuh indah itu masih ada baginya. Dengan segala
feminisme yang ia ciptakan hampir setiap harinya. Rasanya abstrak.
Tidak lupa bahwa ia telah menjanjikan kue kesukaan
perempuan yang ia puja belakangan ini, setelah bersiap-siap, menyemprotkan
parfum kesukaannya, mengancingkan kemeja berwarna hijau tua, dan memakai jam
tangan kesayangannya, kemudian bergegas ia berangkat ke toko kue langganannya.
"Selamat siang! wah, seperti biasa ya,
aromanya selalu harum", sapanya kepada penjaga kasir toko kue itu.
"Seperti biasa kan? Tapi, rapih sekali hari
ini, dan bau parfum yang menyengat. Ingin pergi kencan ya?", balasnya
penjaga kasir.
"Tidak, hanya saja, setiap bertemu rasanya
ingin memberikan sesuatu yang terbaik, serendah-rendahnya adalah dengan tidak
membiarkan dia mencium bau badan yang ingin membuatnya mual", timpalnya,
diikuti gelak tawa mereka berdua.
Setelah mendapatkan kue kesukaan kekasihnya itu,
bergegas ia ke toko buku yang berada di ujung jalan. Toko buku itu menyimpan
banyak koleksi yang membuatnya betah berlama-lama di sana, jika sedang ada
waktu bersama, mereka berdua memang lebih sering menghabiskan waktu di sana
daripada menonton film di bioskop. Hal tersebut semata-mata dilakukan hanya
karena mereka merasa pikiran mereka lebih suka membayangkan sesuatu yang luas
dan abstrak ketika membaca buku-buku yang tersusun rapih di rak buku.
Di saat sedang memilih buku yang akan dibelinya
hari itu, ia menggamit telepon genggamnya dan menghubungi perempuan yang
dirindunya itu. Sesaat kemudian terdengar suara merdu yang jadi kebahagian
baginya.
"Halo? Sedang di mana? Hari ini jadi mampir
kan? Kemarin sudah janji, jangan ingkar. Kue yang ku tunggu itu sudah manis,
jangan ditambah lagi dengan janji manismu yang kemudian kau langgar".
Sambil tertawa, lelaki itu menimpali ocehan
kekasihnya,
"Tumben, hari ini kenapa sangat bawel? Kalau
rindu, bilang, tapi jangan dibicarakan terlalu banyak, seperti yang ku bilang
kemarin".
"Memangnya kenapa? Apa yang salah?",
gumam perempuan itu.
"Tidak salah, hanya saja aku lebih memilih
untuk memberitahumu sekali saja, kemudian saat bertemu bisa menikmati senyum mu
sampai puas", timpalnya.
"Baiklah, kau akan mendapatkannya hari
ini", balas perempuan itu sembari menutup panggilan telepon itu.
Lelaki itu hanya terdiam keheranan, setelah lama
mencari akhirnya ia menemukan buku yang dicarinya. Buku yang setelah dibaca
membuatnya diam. Diam karena ia mencoba mengerti kisah yang coba disampaikan
oleh penulisnya. Victor Hugo memang tidak sembarangan menulisnya, entah dengan
imajinasi dan isi otak yang seperti apa, setiap orang yang membacanya hanya
akan dibuat terkagum-kagum.
Ada salah satu alasan mengapa ia bermaksud
memberikan buku itu sebagai hadiah ulang tahun kepada perempuan yang membuatnya
mabuk kepayang itu, yaitu salah satu kutipan dari buku karya Victor Hugo yang berjudul Les Miserables tersebut:
“To
love or have loved, that is enough. Ask nothing further. There is no other
pearl to be found in the dark folds of life.”
Dengan sumringah ia bergegas membayar ke kasir dan
menuju apartemen yang hanya berjarak satu blok dari toko buku tersebut. Tidak
perlu naik bus atau kereta, cukup ditemani setangkai mawar yang ia beli
di ujung jalan dan angin yang berhembus lembut sore itu. Tidak lupa ditemani
oleh rasa syukur yang selalu ia pertanyakan kepada sang Maha. Mungkin memang
ada hal-hal yang tak perlu dipertanyakan, karena hanya cukup disyukuri dan
dijaga. Tidak kurang dan tidak lebih.
Subhanallah,
ReplyDelete