Petrichor: Ruang Tidur
![]() |
Penulis: Fauzie Nur Ramadhan |
Pukul 07.00
Hujan
lebat mengguyur sudah sejak semalam, suaranya gemuruh, efek percikan air yang
menghantam atap kamar itu terdengar jelas, bahkan mampu mengalahkan kerasnya
suara omelan ibu di pagi hari dengan teriakan yang khas itu. Nyaring dan
bising. Kelopak mata yang sayu itu masih enggan terbuka, mungkin hanya
sekali-dua kali, kemudian tertutup lagi. Mata indah yang bulat itu seperti
malu-malu. Jangan bayangkan seindah apa tatap matanya, tidak akan bisa. Tatap
mata itu adalah tatapan yang tidak akan bisa membua orang lain berpaling.
Entah, dengan cara apa Tuhan bisa-bisanya menciptakan mahluk dengan tatapan
mata seperti itu. Jangan coba-coba menatap, karena engkau yang akan rugi, sulit
untuk dilupakan, bisa repot jika terbawa mimpi.
Tidak,
ini bukan cerita tentang pasangan muda yang sedang mabuk kepayang dengan kisah
cintanya. Jangan diterka, nanti juga kau
akan tahu sendiri.
Pukul 07.30
“Kamu
tuh ya! Kebiasaan, bangun siang terus! Mau jadi apa sih kamu?”
Omelan
khas ibunya menyeruak pagi itu, mengalahkan suara kicauan burung yang
sejujurnya lebih merdu untuk didengarkan. Badan mungil itu masih enggan
beranjak dari kasur kesayangannya, walau telinganya sudah mendengung karena
teriakan sang ibu.
“Iya
nanti aku pasti bangun kok”, timpalnya sembari menarik selimutnya kembali.
Ibunya
seketika langsung geram dan kembali mengoceh, tapi tetap saja tidak akan
terdengar, perempuan yang katanya punya paras yang indah itu sudah
mengantisipasi dengan menutup telinganya. Sepertinya ritual tidur pagi itu
kembali berlanjut, walau sebenarnya matahari sudah mulai meninggi.
Bangun
di saat pagi hari memang bukan rencananya pagi itu, semalam suntuk dia habis
membaca buku pemberian pria kesayangannya itu. Pertemuan minggu lalu yang
berkesan baginya. Untuk kesekian kali pria itu kembali memberi pengalaman luar
biasa yang tak terduga. Sebuah buku berjudul Les Miserables membawa imajinasinya ke ruang yang lebih
jauh lagi dan dia senang akan hal itu. Yang membuat dia tertarik kepada pria
itu memang bukan karena wajah rupawannya, ya karena pria itu sebenarnya biasa
saja, setidaknya jika kau hanya melihat tampilan fisiknya.
Konon dia tertarik
kepada pria itu semata-mata karena menurutnya pria itu punya suara yang nyaman
ketika didengar, punya gestur yang menarik ketika bicara panjang lebar membahas
berbagai macam topik, dan juga punya sebuah pandangan yang tidak bisa ditemukan
di setiap pria yang dikenalnya.
Pukul 08.00
Suara percikan air yang jatuh ke lantai kamar mandi
dengan dekorasi minimalis itu terdengar samar. Akhirnya perempuan itu punya
nyali untuk bangun dari tempat tidur dan dengan semangat bergegas mandi pagi. Suatu
kegiatan yang sebenarnya biasa dia lakukan, tapi karena hari itu adalah hari
libur, dia punya waktu yang lebih lama untuk dihabiskan di kamar mandi. Apalagi
kalau bukan dengan cara bersenandung lagu-lagu kesukaannya? Walau suaranya
memang tidak semerdu penyanyi kesukaannya, macam Nancy Sinatra atau mariln Monroe.
Setelahnya waktu yang tersisa digunakan untuk
melakukan kebiasaan paling lumrah jika seseorang sedang diguyur air dari shower,
yaitu merenung. Entah dari mana asal muasal kebiasaan tersebut, dan ajaibnya
cara tersebut manjur dilakukan ketika dia sedang dilanda banyak pikiran.
“Ayo! Sudah jam berapa ini? Sarapan yang seharusnya
kau makan tiga puluh menit yang lalu, saat ini sudah dingin”, omel ibunya.
Ada yang
berbeda pagi itu, ibunya lebih banyak mengoceh, tidak seperti biasanya.
“Siap laksanakan ibuku yang cantik”, balasnya.
“Ah, kamu ini. Pasti ada maunya ya?”, timpal
ibunya.
“Sudah lama aku tidak pulang bu, sehingga perempuan
cantik yang akhir-akhir ini aku lihat hanya diriku sendiri ketika aku bercermin”,
ledeknya.
Keduanya melepaskan tawa yang sudah jarang
terdengar di rumah itu.
Tawa yang mereka rindukan. Tawa yang ingin mengisi
ruang kosong yang tertinggal, karena hanya tawa mereka yang tersisa di rumah
itu, dan juga tawa menjadi satu-satunya cara mereka mencoba ikhlas atas
peristiwa yang terjadi beberapa tahun lalu. Peristiwa yang kemudian tidak lain
dan tidak bukan menyisakan sendu.
Tidak banyak yang bisa mereka lakukan hari itu. Ibukota
sudah sangat padat, sehingga mereka terlalu malas untuk keluar rumah, bahkan
saat akhir pekan. Sengaja dia meninggalkan apartemen kesayangannya, kali ini,
dia lebih rindu meluangkan waktu dengan ibunya dibanding dengan pria yang kerap
membuatnya puas, puas ketika mereka orgasme tiap kali berdiskusi hingga dini
hari. Senyum pucat ibunya selalu lebih dirindukan.
Hari itu memang hari yang punya arti khusus baginya
dan ibunya. Hari di mana dia selalu tersadarkan bahwa ibu yang sangat dia sayangi
itu semakin memutih rambutnya, dan juga mempunyai keriput yang semakin banyak. Baginya,
waktu yang dilalui bersama ibunya selalu menjadi suatu hal unik tersendiri, waktu ketika dia
bisa dengan leluasa bersenda gurau dan kembali manja layaknya saat dia masih kecil,
saat di mana tempat paling nyaman dan aman adalah pelukan ibu.
No comments: