Peran Aktivis Menjelang Tahun Politik
Penulis: Fachri Sakti Nugroho
Tak harus jenius untuk memahami bahwa momen Pemilihan Umum
(Pemilu) adalah momen krusial untuk memilih pemimpin sekaligus wakil rakyat.
Pemilu, apapun hasilnya nanti, memang tidak membuatmu yang kini jomblo ujug-ujug
punya pacar. Namun, bisa jadi kamu nanti akan mendapat jodoh yang ‘pas’ jika
kamu memilih pemimpin atau wakil rakyat yang tepat.
Misalnya, suatu hari nanti muncul kandidat capres atau caleg
yang berpihak kepada kaum jomblo dan memiliki visi, misi dan program untuk
mengentaskan kejombloan, maka bergegaslah untuk merapat ke kubu kandidat tersebut.
Dukung dan menangkan! Siapa tahu beneran dapat jodoh setelah kandidat yang kamu
usung menang. Wk wk wk wk ....
Cukuplah basa-basinya. Kita masuk ke pembahasan mengenai
pesta demokrasi rakyat dan peran aktivis dalam menyumbangkan kemampuan intelektualnya.
Sejatinya, Pemilu adalah hajatannya
rakyat. Pada hari pencoblosan itu, kita berperan sebagai subjek. Bukan sebagai
obyek yang eksistensinya ada karena pengaruh dari si subjek.
Cara bodoh untuk membuktikan bahwa kita subjek adalah dengan
menuliskan susunan kalimat baku SPOK. Dalam SPOK akan dituliskan susunan
kalimat ‘Rakyat memilih wakil rakyat di TPS’. Dari kalimat itu, jelas sekali
bahwa rakyat berposisi sebagai subjek. Kalimatnya mau dibolak-balik model apapun,
subjeknya akan jatuh kepada rakyat. Begitu cara bodohnya. He he he ...
Mengerti posisi itu penting lho. Jika tidak mengerti, kita tak akan tahu peran dan implikasi dari
posisi kita.
Sebagai subjek kita patut jual mahal kepada para kandidat-kandidat
itu. Mereka kok yang butuh kita.
“Lho, sistem demokrasi kan memang mengharuskan adanya
perwakilan di parlemen, maka kita dong yang butuh mereka untuk mewakil aspirasi
kita?”
“Ya, kita butuh. Tapi yang berkualitas, tidak menyuap, tidak
doyan korupsi, dan mengerti fungsinya sebagai wakil rakyat. Kita tentu tidak
ingin penyakitnya DPRD Kota Malang nimbal ke daerah kita atau ke Senayan kan.”
Oleh karenanya, kita patut jual mahal ke kandidat-kandidat
itu. Mereka lho yang nanti mewakili
kita, makanya gak boleh sembarangan pilih. Pacar saja, kita selektif, masak
wakil rakyat kita enggak selektif? Contoh
lain, semisal kita punya anak yang sudah cukup umur untuk menikah, kita pasti enggak asal menerima menantu kan, ya kalau anak kita mau, ya kalau anaknya
bertanggungjawab, ya kalau warisannya banyak, ya kalau rajin ibadah.
Standar ketat ala mertua itu harus diterapkan pula pada diri
kita yang sudah punya hak pilih untuk memilih kandidat yang paling pas dan bisa
mewakili kita untuk lima tahun ke depan kelak.
Lagi-lagi, tak harus jenius untuk tahu kandidat itu baik
atau jahat. Namun kita perlu jenius untuk tahu, apakah kandidat itu recomended untuk dipilih atau tidak. Kalau
pembaca bertemu salah satu caleg, coba saja iseng ditanyakan mengenai fungsi DPR.
Pertanyaan mendasar seperti itu, harusnya bisa dijawab. Tapi tak jarang,
beberapa caleg terbata-bata, tersendat-sendat, tergopoh-gopoh, keluar keringat
dingin karena tidak tahu apa jawabannya. Sebagai rakyat yang berstandar tinggi,
caleg model begitu harus dicoret dari list.
Meski demikian, tak semua rakyat melek politik, sehingga
tidak tahu harus bagaimana menyampaikan aspirasi atau menagih janji-janji
kampanye. Dikasih duit sepuluh ribu dari kandidat, langsung deh berangkat ke
TPS nyoblos.
“Kan realistis bro, dikasih duit ya nyoblos, nyoblos ya
kalau dikasih duit.”
“Tapi realitanya, si kandidat itu mengeluarkan modal yang
besar untuk memberi uang sogokan. Modal besar yang dikeluarkan saat pencalonan tersebut
akan ditambal dengan uang hasil nilep
anggaran jika mereka terpilih sebagai anggota DPR kelak.”
Selanjutnya, menjadi tugas para aktivis untuk memberikan
pendidikan politik kepada rakyat agar tak mudah dibodohi oleh kandidat-kandidat
nakal tersebut.
Pendidikan politik tersebut bisa dilakukan dengan berbagai upaya,
termasuk dengan cara ikut berkecimpung di partai politik atau terlibat sebagai
tim pemenangan. Para aktivis yang mayoritas adalah kaum terdidik ini harus ikut
terlibat dalam percaturan politik pra dan pasca Pemilu.
Berbeda dengan tim pemenangan abal-abal yang hanya membagi
uang agar kandidatnya dipilih. Tim pemenangan yang berasal dari kalangan aktivis
harus bisa membumikan visi dan misi kandidatnya sebagai tawaran yang berdaya-jual
tinggi sehingga rakyat tidak ragu untuk memilih. Itu tugas yang tidak mudah, menjual
janji-janji plus uang tentu lebih ringan ketimbang menjual janji-janji dan
gagasan.
Selain itu, tim pemenangan dari kalangan aktivis berbeda
dengan tim pemengan abal-abal yang pintar menjilat dan tidak urun ide.
Tim pemenangan dari kalangan
aktivis juga harus mengawal langkah kandidatnya untuk senantiasa lurus di jalan
yang benar sejak tahap pencalonan hingga purna jabatan. Ibaratnya, seperti
Punokawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) yang senantiasa menjaga dan ngemong Pandhawa sejak kecil hingga dewasa
dan bertahta di singgasana Astina. Tak sekedar momong di Istana yang adem-ayem, para Punokawan juga turut pasang
badan ketika Pandhawa bertempur di Padang Kurusetra melawan Kurawa dan kroni-kroninya.
Begitulah tugas para aktivis sebagai tim pemenangan, jika membela yang benar harus
sampai maksimal. Diam bukan pilihan ketika abstain tak berdampak pada hasil pemilihan. Para aktivis tak boleh risih pada lumpur politik, namun jangan ikut berkotor-kotor di dalamnya. Tepis semua
godaan, jangan hilangkan idealisme sebagai satu-satunya harta yang paling
berharga.
No comments: