Kaleidoskop Persundalan : Untuk Viona
/1/
Kau menangis terisak di sudut kesunyian
setelah sepasang kehormatanmu direnggut habis
oleh para pemerkosa yang membayarnya dengan
berahi brutal dan segepok mata uang—
seperti sunyi yang memanggil paksa kemurungan
di peron stasiun tua hingga keheningan menyayat sekujur
nadimu serupa mayat-mayat kaku
di pembaringan beranda kematian
dikepung oleh barisan linangan air mata.
/2/
Atas Muara Segalanya Cinta yang perlahan
mengetuk segumpal hati sucimu yang telah lama
diseret paksa oleh manusia-manusia
menuju tempat persundalan paling hina.
Tapi, tiga hari yang lalu kau bertanya dengan semburat cahaya—
yang masih menyala-nyala terang di celah rahasia
rongga dada, “Ke mana Tuhan yang telah lama menghilang?”
Tiba-tiba riuh luruh sekejap dan mahasunyi menambatkan
waktu hingga serdadu penyesalan menyerang ruh jiwamu.
/3/
Api kesadaranmu memantik dendam yang membara
membakar kepalsuan laksana ketangguhan Maryam
di rahim sucinya, kau bilang pelacuran terjadi di mana saja—
di mulut moncong para borjuis, di kursi istana para raja,
di kemaluan para pendusta, dan siapa saja yang memupuk
ladang neraka pada sepetak hatinya
dan sungguh benar demikian adanya.
/4/
Akhirnya, tangisan itu membawa pulang hatimu
menuju muara doa-doa dalam peribadahan tanpa kepentingan
apapun kecuali hanya bertemu kepada Cinta yang telah lama
hilang terbunuh atas nama sepi rindumu.
(Semarang, 7 Februari 2019)
*Penulis Aditya G. Erlangga, tinggal di Kudus. Menulis puisi, cerpen dan sedang dalam proses penulisan novel pertamanya. Karya terbarunya terbit dalam Cakrawala Kesunyian (Indie Book Corner, 2019) dan beberapa antologi puisi bersama para penyair terpilih. Masih aktif sebagai mahasiswa, komunitas sastra dan pegiat literasi.
No comments: